PT Rifan Financindo Berjangka – Dolar Ambruk, Saatnya Mata Uang China Rebut Takhta

PT RIFAN FINANCINDO BERJANGKA BANDUNG – Tahun 1944 menjadi awal bagi hegemoni Amerika Serikat (AS) terhadap perekonomian dan kancah politik global.

Melalui konferensi Bretton Wood di New Hampshire yang bertujuan untuk membangun kembali perekonomian dan mewujudkan stabilitas keuangan pasca-perang dunia kedua (PD II) melahirkan dolar AS sebagai mata uang internasional.

Konsekuensi dari keputusan Bretton Wood tersebut adalah semua mata uang dunia harus dipatok dengan dolar AS, sementara mata uang negeri Paman Sam dipatok dengan emas.

Kala itu 1 troy ons emas dipatok sebesar US$ 35. 

Munculnya dolar sebagai mata uang internasional yang digunakan sebagai alat perdagangan sampai sekarang ini tak bisa dipisahkan dari konteks adanya perang (PD II).

Saat PD I (28 Juli 1914 sampai 11 November 1918) dan PD II (1939-1945) berkecamuk di sebagian besar daratan Benua Biru, Eropa banyak mengimpor bahan pokok dari AS.

Tidak hanya bahan-bahan pokok saja yang diimpor, teknologi dan alutsista juga banyak diimpor dari Negeri Paman Sam.

Di saat yang sama, AS mendapatkan emas dari Eropa dan berhasil mengakumulasi logam mulia itu sampai total cadangannya mencapai dua per tiga dari total emas dunia. 

AS memang terlibat juga dalam perang dunia terutama PD II. Namun berbeda dengan Eropa yang sejak awal terjun dalam konfrontasi militer, AS baru ikut perang lebih belakangan. Inilah yang membuat ekonomi AS bisa pulih lebih cepat dan berhasil mengakumulasi emas sebanyak itu sehingga menjadi senjata moneter AS untuk menguasai dunia.

Di saat itulah juga Paman Sam membanjiri Eropa dengan utang dolar AS yang sangat besar sehingga berhasil membentuk semacam aliansi untuk menumpas ideologi-ideologi kiri yang juga berkembang saat itu seperti di Rusia misalnya. 

Namun masalah mulai muncul 16 tahun setelah perjanjian Bretton Wood diteken atau tepatnya pada tahun 1960.

Di tahun itu, AS kehilangan lebih dari 50% cadangan emasnya. Defisit neraca pembayaran AS membengkak sampai melampaui persediaan emasnya. 

Di saat yang sama pula AS sedang terlibat perang dengan Vietnam. Untuk mendanai perang AS pun berhutang ke Eropa. Pada 1961-1975 AS dilaporkan mengeluarkan US$ 141 miliar untuk kembali melakukan kolonialisasi terhadap Vietnam.

Defisit anggaran AS pun membengkak, tumpukan utang tersebut bahkan sampai tak bisa dibayar.

Kala itu kebijakan moneter bank sentral pun cenderung sangat longgar dan membuat harga emas menjadi lebih mahal.

Namun bukannya menyelesaikan masalah, kebijakan tersebut justru malah menimbulkan masalah baru dan defisit terus membengkak.

Akhirnya pada tahun 1971, Presiden Richard Nixon memutuskan untuk tidak lagi mematok dolar AS dengan emas. 

Sejak saat itulah mata uang fiat dikenalkan. Secara definisi, fiat money adalah mata uang yang tak didukung oleh komoditas fisik, seperti emas atau perak, tapi tetap diterbitkan negara.

Nilainya berdasarkan antara penawaran dan permintaan dan stabilitas pemerintah yang menerbitkan, bukan nilai komoditas yang mendukungnya seperti halnya uang komoditas.

Artinya tidak ada lagi underlying dari dolar AS.

Maka secara sederhananya, dolar benar-benar tidak memiliki nilai. Nilai dolar AS hanya berbasis pada kepercayaan para pelaku ekonominya saja. 

Implikasinya jelas sudah, dolar AS terus kehilangan nilainya dan harga emas pun meroket di saat yang sama. Pada periode ini indeks dolar drop 24% dan harga emas telah meroket 1.400% lebih. 

Meskipun tak lagi dipatok dengan apapun, dolar AS tetap saja menjadi raja mata uang dunia dan digunakan untuk transaksi perdagangan dan berlaku sebagai reserves currency sampai sekarang. 

Bagaimanapun juga krisis yang terjadi di AS pada periode tersebut telah menimbulkan konsekuensi yang serius bagi perekonomian AS.

Selama dua dekade AS mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang lambat, tingkat inflasi dan pengangguran yang tinggi atau disebut sebagai stagflation pada periode 1965-1985 – PT RIFAN FINANCINDO BERJANGKA

Sumber : cnbcindonesia.com

Leave a comment